Selasa, 24 November 2015

Pendidikan Wanita dalam Islam



Ketahuilah, Hadits berikut
المراة عماد البلا د اذا صلحت صلحت البلا د واذا فسدت فسدت البلا د
 yang artinya:
Wanita adalah tiang Negara, apabila wanita itu baik maka Negara akan baik,

dan apabila wanita itu rusak, maka Negara akan rusak pula”
adalah hadits palsu.
Budaya Islam menempatkan wanita pada posisi yang tidak sama dengan pria. Karena memang keduanya tidaklah sama. Itu adalah fakta.

Kontradiktif, Barat memperlakukan wanita betul-betul sama dengan pria. Dalam dunia Barat, seorang wanita yang mandiri, independen, mencari nafkah sendiri, menentukan masa depan sendiri, bebas menentukan dengan siapa ia menjalin hubungan dan sejauh mana hubungan mereka, adalah wanita yang dianggap sukses. Barat melihat perhatian kepada wanita sangat penting, karena mereka melihat wanita sebagai ”korban peradaban masa lalu”, sehingga seringkali concern dan perhatian mereka terhadap wanita sedikit berlebihan.
Berbeda dengan perspektif Islam. Islam tidak memandang wanita sebagai “korban peradaban”. Dengan percaya diri, Islam hadir menyelamatkan nyawa bayi-bayi kaum Quraisy dari pembunuhan tak beralasan. Islam mengakui perbedaan karakter keduanya. Dan Islam tidak menutup mata pada potensi masing-masing yang berbeda namun sama pentingnya.
Sebagaimana pria yang harus siap dengan penderitaan dalam dakwah; ditolak masyarakat, beresiko dibenci kaum yang hasad, ammar ma’ruf nahi munkar, bersusah payah menjadi pemimpin, bersabar di bawah kepemimpinan orang lain, bersabar dalam fitnah di jalan dakwah dan berjihad fiisabiilillah, wanitapun harus siap dengan penderitaan yang setara (equal) dengan bersabar dalam kepemimpinan suami, mendidik anak, hamil-melahirkan dan menyusui, menjaga harta suami, menjadi tempat suami beristirahat dari kepenatan dan ganasnya dunia luar. Kedua peran itu penuh peluh, air mata bahkan tetesan darah. Keduanya setara.
Islam datang dengan memuliakan wanita, dan karenanya Islam tidak pernah merasa ‘rendah diri’ untuk kemudian memberikan hak dan kewajiban kepada wanita sebagaimana hak dan kewajiban pria, yang pada akhirnya justru mengorbankan wanita itu sendiri. Islam tidak membiarkan wanita menjadi mandiri, tetapi Islam melindungi wanita dalam rengkuhan hangat seorang pria. Islam tidak membiarkan wanita keluar bebas, tetapi Islam mewajibkan pria untuk mengawalnya saat ia safar. Islam tidak membebani wanita urusan luar rumah sebesar beban pria, agar wanita dapat lebih berkonsentrasi mendidik anak-anak mereka menjadi generasi yang lebih baik.
Dalam pendidikan, Islam sudah tidak perlu merasa berdosa untuk kemudian mengeluarkan jargon, “kesetaraan pendidikan bagi wanita”. Sejarah Islam sudah cukup membuktikan, bahwa di kala kaum pria berangkat berperang membuka pintu-pintu negeri, kaum wanitalah yang kemudian banyak belajar dan mendirikan lembaga pendidikan yang –memang menjadi amanah Islam dalam pundak mereka untuk –mendidik generasi penerus kaum muslimin. Bahkan UNESCO mengakui, sebuah Universitas tertua di dunia University of Al-Karaouine di tahun 859 M didirikan oleh seorang muslimah Fathimah Al Fihri.
Pernahkah kita membaca kisah tabi’in Rabi’ah Ar-Ra’yi yang mana sang ayah pergi berjihad selama 30 tahun, dan ia hanya dididik oleh ibunda yang sholihah, dengan bekal yang diberikan sang ayah digunakan oleh sang ibu hanya untuk pendidikan anaknya, hingga sang anak tumbuh dan berkembang menjadi ulama dan pemuka Madinah, yang majelisnya dihadiri oleh Syufyan Ats tauri, Abdurrahman bin Amru Al-Auza’i, Yahya bin Sa’id bahkan Malik bin Anas (Imam Malik) dan Imam Abu Hanifah!
Mungkin kita pernah membaca kisah imam al-haramain As Syaikh Sudais yang terpacu menjadi Imam Masjidil Haram karena doa sang ibu saat ia berbuat satu kesalahan. Atau kita pernah membaca hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang meminta Asy-Syifa’ untuk mengajarkan Hafshah (istri Rasulullah) menulis.
Islam tidak memerintahkan kaum wanitanya untuk bekerja sebagaimana pria, karena Islam meletakkan mereka sebagai kaum yang harus dimuliakan pria. Islam tidak memerintahkan kaum wanitanya memimpin, karena Islam memberikan tempat yang mulia bagi mereka; mendidik dan melahirkan pemimpin-pemimpin adil.
Pada zaman shahabah bermunculan banyak wanita ahli ilmu agama dan pengetahuan, seperti Hafsah isteri Nabi pandai menulis, dan ‘Aisyah binti Sa’ad juga pandai menulis. Aisyah isteri Nabi pandai membaca Al Quran dan tidak pandai menulis tetapi beliau adalah seorang ahli fiqh yang terkenal sebagaimana diakui oleh ‘Urwah bin Zubair seorang ahli fiqh yang termasyhur  dalam hal ini beliau berkata : “belum pernah saya melihat seorang yanglebih ‘alim dalam ilmu Fiqh, ilmu kedokteran dan ilmu syi’ir selain dari ‘Aisyah”. Kemudian adapula Ummu Salamah dapat membaca dan tidak pandai menulis, Al-Khansa’ seorang penyair yang loyal, nasionalis dan pejuang. Laila binti Salma dan Sitti Sakinah binti al-Husain, seorang ahli yang mahir dalam bidang sya’ir. Demikian pula ‘Aisyah binti Talhah seorang yang ahli dalam kritik syi’ir.
 Di jaman Daulah Abbasiyah, istri Harun Al-Rasyid, Zubayda secara pribadi membangun banyak proyek konstruksi Masjid, jalan, dan sumur di Hijaz yang memberikan keuntungan bagi banyak penuntut ilmu thullab yang melewati daerah ini guna mencari hadits.
Istri Utsman Sulthan Sulayman, jug amendirikan madrasah, rumah sakit, dan pemandian umum. Samasekali tidak seperti kondisi Eropa di abad pertengahan (1800 – 1900 M), wanita di dunia Islam telah memainkan  peranannya dalam pendidikan Islam selama lebih dari 1400 tahun. Dan Islam tidak memandang mereka sebagai ‘warga kelas kedua’, wanita aktif berperan di wilayah publik terutama pendidikan dan kesehatan. Dua wilayah yang memang Allah SWT sediakan untuk wanita. Dua wilayah yang –kita sama-sama telah tahu –paling penting dalam pembangunan sumber daya manusia sebuah negara.
Dari uraian di atas, tentu menjadi jelas bagi kita bahwa peran wanita adalah berdampingan dengan pria. Mereka mengisi peran yang tidak mungkin dilakukan dengan baik oleh kaum pria.
Bukan berarti terlarang bagi wanita untuk mengambil sebagian peranpria. Di jaman Rasulullah, beberapa shahabiyah juga ikut berperang bersama Rasulullah SAW, dan semangat mereka terwarisi oleh seorang pahlawan wanita negeri yang kita cintai ini; Tjoet Njak Dhien.
Hadits palsu di awal tulisan ini benar-benar menggambarkan kesepakatan kaum muslimin tentangkedudukan wanita dalam dunia Islam. Sebagai agenpembangun sebuah bangsa. Begitu populer dan diterimanya ungkapan itu hingga sebahagian (besar) umat Islam menganggap itu sebagai ucapan Rasulullah SAW. Sebagai sebuah kebenaran.